top of page

FGD PENGUATAN KOLABORASI BARESKRIM POLRI, DAN LEMBAGA BERBASIS MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KASUS PENYANDANG DISABILITAS

Diperbarui: 7 Apr



Jakarta, 19 Maret 2025 – Penyandang disabilitas, terutama perempuan, masih menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses keadilan. Keterbatasan akses terhadap layanan kepolisian, kurangnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai hak-hak penyandang disabilitas, serta minimnya mekanisme pendampingan yang inklusif, menjadi tantangan besar dalam menangani kasus kekerasan dan diskriminasi yang mereka alami.

Pentingnya akses keadilan bagi penyandang disabilitas telah diatur dalam beberapa kebijakan dan regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Kedua regulasi ini mengamanatkan pentingnya perlindungan hak-hak penyandang disabilitas, terutama perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Untuk memperkuat implementasi kebijakan ini, Mahkamah Agung telah menerbitkan Pedoman Nomor 2 Tahun 2023 yang memastikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 mempertegas akomodasi yang layak dalam proses peradilan bagi penyandang disabilitas.

Sebagai langkah nyata untuk mengatasi tantangan ini, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), dengan dukungan dari Disability Rights Advocacy Fund (DRAF), menjalin kerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pada tahun 2019. Kerja sama ini bertujuan meningkatkan kualitas layanan kepolisian bagi penyandang disabilitas, khususnya dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender dan diskriminasi.

Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan MoU tersebut, HWDI menginisiasi pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh berbagai pihak terkait, seperti Bareskrim Polri, Kelompok Kerja (Pokja) Disabilitas, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, dan Forum Pengada Layanan (FPL). FGD ini bertujuan untuk menyusun strategi terbaik dalam meningkatkan layanan kepolisian bagi penyandang disabilitas sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku.

Sejak diterapkannya MoU pada 2019, berbagai capaian positif telah tercapai. Salah satunya adalah tersedianya Juru Bahasa Isyarat (JBI) dalam konferensi pers kepolisian, yang memungkinkan penyandang disabilitas Tuli memperoleh akses informasi yang lebih baik. Selain itu, beberapa kepolisian juga telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung penanganan kasus dengan melibatkan pemerintah daerah atau rumah sakit setempat.

Salah satu pencapaian lainnya adalah meningkatnya jumlah perempuan penyandang disabilitas yang berani melaporkan kasus kekerasan, melalui kerja sama yang dilakukan oleh DP3A Aceh dan DPD HWDI Aceh pada tahun 2023, serta MoU antara Pengadilan Negeri Bekasi dengan HWDI pada 2025. HWDI juga terus mendorong keterlibatan perempuan penyandang disabilitas dalam pendampingan kasus, pelatihan konseling, penguatan kapasitas sebagai paralegal, dan program magang di berbagai instansi.



Sebagai bagian dari penguatan layanan inklusif, HWDI melakukan asesmen di beberapa Polda dan Polres untuk menilai aksesibilitas ruang pelayanan, seperti Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Hingga saat ini, sebanyak 25 RPK yang memenuhi standar aksesibilitas telah tersedia di berbagai Polda dan Polres di seluruh Indonesia.

Pembangunan RPK ini memastikan bahwa perempuan dan anak penyandang disabilitas dapat mengakses layanan kepolisian dengan lebih mudah, aman, dan inklusif. Pengembangan Ruang Pelayanan Perempuan dan Anak (RPPA) juga terus diperhatikan untuk memastikan layanan publik yang aksesibel di kantor-kantor kepolisian.


FGD yang dilaksanakan pada 19 Maret 2025 bertujuan untuk:

  1. Mengidentifikasi tantangan dan kebutuhan dalam evaluasi implementasi MoU antara HWDI dan Polri, terutama dalam penanganan kasus yang melibatkan penyandang disabilitas.

  2. Menyusun mekanisme kolaborasi antara Bareskrim Polri, HWDI, dan lembaga layanan berbasis masyarakat untuk meningkatkan efektivitas penanganan kasus penyandang disabilitas.

  3. Menyusun roadmap kerja sama yang lebih terstruktur antara Bareskrim Polri, HWDI, dan lembaga layanan berbasis masyarakat guna memastikan layanan kepolisian yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berorientasi pada hak-hak penyandang disabilitas.

Kegiatan ini menggunakan metode diskusi panel dan Focus Group Discussion (FGD) yang akan menghasilkan beberapa output, termasuk:

  • Dokumen evaluasi implementasi MoU yang memuat tantangan dan rekomendasi perbaikan.

  • Mekanisme kolaborasi terstruktur antara Bareskrim Polri, HWDI, dan lembaga layanan berbasis masyarakat.

  • Roadmap kerja sama yang memuat rencana jangka pendek, menengah, dan panjang.

  • Rekomendasi kebijakan terkait penguatan aksesibilitas layanan kepolisian bagi penyandang disabilitas.

Dengan berlandaskan pada Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, serta peraturan-peraturan terkait lainnya, diharapkan kerja sama ini dapat terus diperkuat, memastikan bahwa perempuan penyandang disabilitas mendapatkan perlindungan dan layanan hukum yang setara. Keberlanjutan akses keadilan yang inklusif merupakan tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan.

 
 
 

Comments


bottom of page